BAB
I
PENDAHULUAN
Syiah bukan istilah temuan atau baru.
Istilah ini disebut dalam al-Qur’an pada empat tempat. Dua di antaranya (QS
AL-Qashash [28]:15; QS Al:Shaffat [37]:83) adalah:
#x»yd `ÏB
¾ÏmÏGyèÏ©
#x»ydur
ô`ÏB
ÍnÍirßtã )( 15
(Al-Qashash-
Menurut kamus, kata syiah berarti: para pengikut,
partisan sekelompok orang yang
memperlihatkan kesamaan sikap atas suatu masalah atau suatu keyakinan yang
mereka dukung dan
bela. Akan tetapi, istilah itu kemudian sinonim dengan pengikut Ali ibn Abi
Thalib. “Kata ini kemudian diartikan pendukung Ali Al-Mukminin (Ali). Mereka
mengikuti dan mempercayai kepemimpinan Imam Ali langsung setelah Nabi dan tidak
mengakui para pendahulu beliau yang menduduki kekhalifahan” (Syaikh Al-Mufid,
1993a). Mereka disebut demikian
karena mereka menegaskan bahwasanya Ali memiliki hak atas kekhalifahan
berdasarkan ketetapan Tuhan, dan ia telah menerima mandate yang istimewa
tersebut dari Nabi Muhammad, dan disebabkan oleh anggapan mereka terhadap
keistemewaan Ali, yakni otoritas spiritual yang melekat pada diri Ali, dan
kemudian akan beralih kepada anak dan keturunannya.
Aliran Syiah baru muncul dan terlihat
setelah gagalnya perundingan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan di Siffin. Perundingan ini diakhiri dengan tahkim atau arbitrasi.
Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali memberontak terhadap kepemimpinannya
dan keluar dari pasukan Ali. Mereka itu disebut golongan Khawarij atau
orang-orang yang keluar, sedangkan sebagian besar pasukan yang tetap setia
kepada Ali disebut Syiah atau pengikut Ali.
Al-Asy’ari
mengatakan bahwa Syiah Imamiyah sepakat pada tiga persoalan. Pertama, mereka
semua menganggap bahwa Imam telah ditentukan oleh petunjuk atau teks yang jelas
(nash) pendahulunya menunjuk penggantinya bukan oleh pemilihanatau consensus
masyarakat seperti yang kaum Sunni lakukan. Kedua, tidak ada pemberontakan
melawan pemerintahan yang sedang berlangsung itu dibolehkan kecuali melalui
seorang Imam. Ketiga, bahwa tidak ada ijtihad yang dibolehkan di bidang hukum
(ahkam), agaknya beda dari teologi. Pada poin kedua, diketahui bahwa imam-imam
dari Syiah Dua Belas tidak pernah memberontak setelah Husein, cucu Nabi, dan
sejak Imam ke-enam, Ja’far al-Shidiq (w. 148/765) mereka menjauhkan diri dari
akuisisi kekuatan politik.
Di sini walaupun yang baru terlihat awal
lahirnya Syiah muncul setelah terjadinya peristiwa tahkim, tetapi akar-akar
Syiah sebenarnya telah lama tumbuh setelah wafatnya Nabi Muhammad, ketika
beberapa sahabat menokohkan Ali Bin Abi Thalib sebagai khalihah pengganti Nabi
Muhammad. Namun sahabat lain membai’at Abu Bakar sebagai khalifah pertama
setelah Nabi. Para pengikut Ali pada saat itu, merasa klaim mereka telah
direbut secara tidak adil. Hal ini oleh kalangan Syiah selalu menjadi sebab
utama pertangkaran mereka.
Selanjutnya,
Aliran Syiah tumbuh dan berkembang terpecah-pecah, menjadi beberapa sekte yang
satu sama lainnya berbeda dalam pemahaman dan pemikirannya. Di antaranya sekte
Kaisaniyah, Zaidiyah dan Imamiyah yang selanjutnya akan dijelaskan di bab II
dan penjelasan lebih ditekankan mengenai mazhab Syiah Imamiyah. Hemat penulis,
perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam tubuh syiah sendiri disebabkan
berbedanya pemikiran tokoh-tokoh syiah dalam menetapkan permasalahan hukum baik
dari segi akidah, hukum syara’ maupun penafsiran mereka terhadap sumber hukum.
Dan perbedaan itu juga didasari karena ketidak jelasan acuan hukum yang mereka
pegang dalam mendasari pemikiran mereka, sehingga dalam tubuh syiah tersebut
lahirlah bermacam-macam aliran syiah yang kian bervariasi.
BAB II
ALIRAN-ALIRAN SYIAH
A. SEKTE
IMAMIYYAH
Sekte ini adalah golongan yang meyakini
bahwa Nabi Muhammad saw. telah menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin
atau imam sebagai pengganti beliau dengan petunjuk yang jelas dan tegas. Oleh
karena itu, sekte ini tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Usman.
Sekte Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Golongan terbesar adalah
golongan Isna Asy’ariyah ata Syiah Duabelas. Golongan kedua terbesar adalah
golongan Ismailiyah.
1.
MAZHAB SYIAH DUA BELAS
a.
Imam Dua Belas
Mazhab ini merupakan
mazhab terbesar Syiah yang terlahir dari sekte Imamiyah, yang menjadi paham resmi
pemerintahan di Persia semenjak masa pemerintahan dinasti Syafawiyah berkuasa
pada tahun 907/1501. Kalangan Syiah Duabelas merupakan 60% dari warga nrgara
Iraq, dan sebagai kelompok minoritas di Afghanistan, Libanon, Pakistan, Syiria,
di Propinsi wilayah Timur Arabia, dan di sejumlah negeri Teluk.
Kedua-Belas-Imam yang
diakui oleh Mazhab Syiah Dua-Belas-Imam adalah sebagai berikut:
1.
Ali ibn Abi Thalib (w.
40 H/661 M)
2.
Al-Hasan ibn ‘Ali (w.
49 H/669 M)
3.
Al-Husain ibn ‘Ali (w.
61 H/680 M)
4.
Ali ibn Al-Husain,
Zain Al-Abidin (w. 95 H/714 M)
5.
Muhammad Al-Baqir (w.
115 H/733 M)
6.
Ja’far Al-Shadiq (w.
148 H/765 M)
7.
Musa Al-Kazhim (w. 183
H/799 M)
8.
Ali Al-Ridha (w. 203
H/818 M)
9.
Muhammad Jawad Al-Taqi
(w. 220 H/835 M)
10. Ali
Al-Naqi (w. 254H/868 M)
11. Al-Hasan
Al-Askari (w. 260 H/874 M)
12. Muhammad
Al-Mahdi, Al-Qa’im Al-Hujjah (memasuki kegaiban besar pada 329 H/940 M).
b.
Akidah-Akidah Dasar
Prinsip-prinsip
agama yang mendasar (ushul al-din), dalam mazhab Syiah maupun mazhab-mazhab
Islam lainnya adalah:
1.
Keesaan Allah (Tauhid)
2.
Kenabian (nubuwwah),
yang berakhir dengan Muhammad sebagai Nabi terakhir dan al-Qur’an sebagai
risalah Allah yang terakhir bagi umat manusia.
3.
Kebangkitan kembali
(ma’ad) atau kehidupan di akhirat
Ketiga keyakinan dasar ini sama-sama
diyakini oleh ajaran Syiah maupun Sunnidan merupakan acuan dari persaudaraan
Islam. Akan tetapi, ajaran Syiah menambahkan dua prinsip lagi, yang dianggap
pentng untuk mendapatkan perspektif kesadaran beragama yang menyuluruh, yang
dua ini adalah:
4.
Keadilan Allah
(al-adl)
5.
Imamah
c.
Kewajiban-Kewajiban
dalam Agama
Ada tujuh tugas agama yang harus
dijalankan sebagai amalan-amalan wajib untuk menyembah Allah. Masing-masing
adalah:
1.
Shalat lima kali
sehari
2.
Berpuasa pada bulan
Ramadhan
3.
Menunaikan ibadah haji
satu kali seumur hidup jika seseorang mampu baik dari segi fisik maupun
keuangan untuk melakukannya.
4.
Memberi zakat yang
jumlahnya sepersepuluh dari komoditas-komoditas tertentu, yang harus dibayar
pada akhir tahun demi kesejahteraan masyarakat umum dan kaum miskin.
5.
Khums atau seperlima
dari pendapatan tahunan seseorang harus dibayarkan sebagai hak prerogative
kepada Imam pada masanya.
6.
Jihad, yang secara
umum dan kurang tepat diterjemahkan sebagai perang suci.
7.
Al-amr bi al-ma’ruf wa
al-nahy an al-munkar, menyarankan berbuat baik dan mencegah berbuat jahat.
Lima dari ketujuh kewajiban itu
sama-sama berlaku untuk kalangan Syiah dan Sunni dengan sedikit variasi dalam
cara pelaksanaan empat kewajiban yang disebut pertama itu, tetapi ada perbedaan
yang cukup besar dalam menafsirkan kewajiban jihad. Menurut ajaran Syiah, jika
imam tidak ada dan tidak ada pengantinya yang istimewa, maka perang suci tidak
dapat dijalankan. Akan tetapi, jika musuh menyerang, yang membahayakan negeri
Islam atau umat Islam, setiap orang wajib berperang untuk membela negeri dan
rakyatnya.
Khums dan “menganjurkan berbuat baik dan
mencegah berbuat jahat” merupakan kewajiban agama yang khas Syiah. Selain
zakat, kaum Syiah juga membayar Khums-seperlima dari pendapatan per tahun
seseorang atau keuntungan lain apa pun yang diperolehnya- sebagai hak dari Imam
pada masanya. Pada masa hidup Nabi Saw., pembayaran itu diberikan kepadanya,
tetapi sejak kematiannya, kaum Syiah mewajibkan diri mereka untuk membayarkan
kepada Imam dan kepada keturunan Nabi Saw.
d.
Fiqh Syiah
Salah satu hal aksiomatis dalam mazhab syiah adalah nikah
mut’ah, seperti dinyatakan oleh Al Hurr Al Amili dalam Wasa’ilu Syi’ah jilid 21
hal 13. Al Amili mengatakan : bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis
dalam mazhab syiah”. Bukan Al Hurr Al Amili sendirian yang menganggap bolehnya
nikah mut’ah adalah hal aksiomatis dalam mazhab syiah, Al Majlisi juga
menyatakan demikian: beberapa hal yang termasuk perkara aksiomatis dalam agama
syi’ah, kata Majlisi, adalah menghalalkan mut’ah, haji tamattu’ dan memusuhi
Abubakar, Umar, Utsman dan Muawiyah. Bisa dilihat dalam Al I’tiqad hal 90-91.
Namun ada yang janggal di sini, ternyata Ali malah dengan tegas
meriwayatkan sabda Nabi tentang haramnya nikah mut’ah. Riwayat ini tercantum
dalam kitab Tahdzibul Ahkam karya At Thusi pada jilid 7 halaman 251, dengan
sanadnya dari :
Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja’far dari Abul
Jauza’ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya
dari kakeknya dari Ali [Alaihissalam] bersabda: Rasulullah mengharamkan pada
perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah.
e.
Pandangan Teologi
Syiah
1.
Janji dan Ancaman
Syiah mengambil
posisi tengah antara Mu’tazilah dan Ay’ariyah megenai Janji dan Ancaman yang
diberikan Allah kepada pelaku dosa besar. Yaitu, Tuhan pasti
melaksanakan janji-janji-Nya. Akan tetapi, Dia melakukan hal demikian itu bukan
karena keterpaksaan. Ia niscaya memenuhi janji-janji-Nya karena ini sesuai
dengan keadilan dan kemestian, dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
prinsip ini berarti tidak konsisten. Meskipun demikian, Dia tidak wajib atau
harus bertindak sesuai dengan prinsip itu, dalam pengertian bahwa Dia wajib,
lebih daripada sekedar pilihan moral, untuk berbuat demikian.
2.
Keesaan Tuhan
Kaum Muslim tidak ada yang tidak sepakat
dalam masalh iman ini.
3.
Keesaan Zat dan Sifat
Kepercayaan
Syiah dalam tauhid adalah dalam bentuk termurni, ia menempatkan Allah jauh dari
setiap unsur antropomfis dalam konsep tentang Tuhan, yang boleh jadi melanggar
batas Kemahasucian-Nya seperti politeisme (syirik) dan kejasmaniahan.
Kehendak-Nya bebas dari keterpaksaan atau tekanan dan keganjilan; dan tidak ada
sekutu bagi-Nya dalam Wujud Kekal-Nya.
Kaum
Muslim Syiah percaya bahwa sifat-sifat Allah identik dengan esensi (Zat)-Nya.
Mustahil Allah mempunyai sifat yang selain Wujud-Nya, dari segi mana pun.
Imamiyyah
berpendapat, mustahil manusia melihat Tuhan baik di dunia ini atau di akhirat
nanti. Tidak mungkin Tuhan dipersepsi karena hal itu bertentangan dengan logika;
apa yang bukan merupakan suatu “badan” atau tak mengalami inkarnasi, tak
memakan ruang atau waktu, tak bersekutu atau dipahami seperti itu mustahil
dapat dilihat dengan mata.
Rupanya
kaum Syiah di sini menganggap sesuatu yang dapat dilihat itu berarti mempunyai
tempat dan waktu, pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan Asy’ariyah.
Penulis sendiri menganggap Syiah terlalu merasionalkan Tuhan sebagai esensi
yang tidak sama dengan makhluk berarti Tuhan tidak dapat dilihat walau di
akhirat. Sedangkan dapatnya orang beriman melihat Allah di akhirat nanti itu
suatu yang jaiz bagi Allah dengan caranya yang berbeda dan tidak bisa kita
pikirkan. Analoginya, ketika seseorang bermimpi dan dalam mimpinya dia bertemu
dengan orang lain, maka mimpinya itu tidak bisa dikatakan tidak ada dan tidak
dilihat walaupun tanpa tempat.
4.
Kebijaksanaan Allah
Karena
Imamiyah percaya pada kemerdekaan akal dalam memahami apa yang baik dan yang
buruk, maka konsekuensinya seseorang dapat secara mutlak tahu pasti bahwa apa yang
dititahkan Allah itu baik dan apa yang dilarang Allah itu buruk.
5.
Keadilan Allah
Syaikh Al-Mufid, seorang teolog Imamiyyah terkemuka,
berkata (1993:57):
Allah
Maha Adil, Maha Pemurah. Dia menciptakan manusia untuk menyembah-Nya dan
melarang manusia membangkang kepada-Nya. Dia tidak akan membebani seseorang
dengan kewajiban di luar kemampuan-Nya. Penciptaan-Nya jaud dari asal-asalan
dan tindakan-Nya jauh dari semena-mena. Dia jauh dari mencampurtangani tindakan
hamba-Nya dan jauh dari memaksa manusia melakukan suatu perbuatan. Dia tidak
menghukum seorang hamba kecuali karena melakukan perbuatan dosa dan tidak
mengutuk manusia kecuali karena melakukan tindakan jahat. Dia tidak berbuat
zalim, bahkan seberat atom pun.
6.
Taqdir
Menurut Syiah, tindakan-tindakan kita itu kita lakukan
sendiri setelah Allah menanamkan dalam diri kita kemampuan untuk melaksanakan
atau menghindari perbuatan itu. Kebaikan dan kejahatan dilakukan karena
kehendak bebas manusia, maksudnya kita mempunyai pilihan untuk melakukan salah
satu darinya atau meninggalkannya. Allah Yang Maha Suci menghimbau hamba-Nya
untuk melakukan perbuatan baik dan menghindarkan diri dari perbuatan tidak
patut. Artinya bahwa manusia adalah pelaku dari setiap perbuatan yang mereka
kerjakan dalam pegertian sebenarnya, bukan secara metaforis. Meskipun demikian,
tindakan-tindakan manusia juga merupakan tindakan-tindakan Tuhan tanpa sesuatu
kekurangan.
7.
Kalam Allah
Syiah Imamiyyah sepakat bahwa Kalam Tuhan itu makhluk
seperti halnya makhluk-makhluk lainnya. Dia adalah Pembicara dalam pengertian
bahwa Dia menciptakan kata-kata dalam beberapa organisme atau benda seperti
perkataan Allah kepada Musa melalui pohon.
Setiap yang menyampaikan makna pembicara adalah kata
katanya. Keseluruhan dunia wujud adalah kalamnya . dia berbicara melalui
penciptaan dan pembentukan . dalam ungkapan ungkapan imam ‘Ali berikut, kita
dapat menjejaki rujukan pada makna tersebut : “ Mahatinggi dia, Kalam-nya
adalah ciptaan-nya sendiri , yang serupa dengan kalam-nya itu belum pernah ada
sebelumnya. Seandainya kalam itu kekal berarti ada tuhan yang lain selain-Nya”
( Nahj Al-Balaghah, khutbah no. 228 ).
8.
Qadar Dan Takdir
Imam ‘Ali adalah orang pertama yang menjawab persoalan
teologis dan filosofis yang senantiasa ada dalam benak manusia. Ia sering menyuruh
orang untuk bertanya kepadanya. Suatu hari, ia berkata seperti ini: “ Wahai,
manusia! Tanyakanlah kepadaku sebelum kalian kehilangan aku. Aku lebih tahu
pintu langit dari pada bumi” (Nahj Al-Balaghah, 3:215). Tidak ada seorang pun
di kalangan sahabat atau ulama yg berani membuat pertanyaan seperti itu kecuali
‘Ali yang dalam khutbah yang dikutip diatas pernah mengatakan , “perkara kita
ini sangat pelik dan dirasakan seperti itu pula. Tidak seorang pun yang sanggup
memikulnya kecuali orang-orang yang hatinya telah diuji Allah dengan iman yang
tangguh. Pembicaraan kita hanya dapat dimengerti oleh mereka yang mempunyai
niat lurus dan pikiran refliktif nan tenang.”
‘Ali adalah orang pertama yang membuktikan adanya
pilihan manusia dalam bertindak, melalui kepercayaan pada qadar dan takdir.
Para sejarahwan telah mencatat bahwa ketika ‘Ali kembali dari perang shiffin,
seorang yang berusia lanjut bertanya kepadanya, “Ceritakan kepadaku tentang
pertempuran kita disyam (suriyah). Apakah itu sesuai dengan qadar dan takdir
Allah.” Orang tua itu berkomentar, “ Aku menyerahkan amalanku kepada Allah. Aku
tidak berpikir tentang pahala.” ‘Ali berkata,
Tercelalah
kamu! Engkau menerimanya sebagai takdir akhir dan tak terelakkan (yang kita
terikat untuk berbuat sesuai dengan). Jika betul demikian, maka tidak ada
pahala dan hukuman dan tidak ada pula harapan pada janji dan ancaman. (padahal)
Allah, yang maha suci, telah memerintahkan para hamba-nya beramal dengan
kehendak bebas dan memperingatkan mereka agar tidak berbuat dosa. Dia
menetapkan kewajiban yang ringan atas mereka, bukan yang berat. Dia memberikan
(oahala) yang besar sebagai imbalan bagi (amalan) yang kecil. Dia tidak
dipatuhi bukan karena tidak terlalu mahakuasa. Dia ditaati oleh manusia bukan
karena dibawah tekanan. Dia tidak mengutus nabi-nabi hanya sekadar untuk
kesenangan. (Nahj Al-Balaghah: 78)
Para
filosof Syiah Imamiyah telah menunjukkan minat yang besar pada masalah qadar
dan takdir dan mereka mengkajinya secara seksama. Mereka tidak tertandingi oleh
ulama dari mazhab-mazhab pemikiran Islam lainnya.
9.
Kemaksuman Nabi
Imamiyyah
berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai sekutu, adil dan tidak mungkin berbuat
kejahatan dan menciptakan dosa, kemudian menghukum kita, manusia karena dosa
dan kejahatan yang kita lakukan. Dengan dasar pemikiran sama, mereka
berpendapat bahwa para nabi mustahil berkhianat, berdosa, berwatak lancang dan
berbuat khilaf baik secara lahiriyah maupun bathiniah. Mereka yakin pada
kemaksuman (ishmah) para nabi sepanjang kehidupan mereka.
10. Imamah
Syiah Imamiyah percaya Imamah adalah posisi ilahiah
bagi kepemimpinan spiritual dan temporal kaum muslim. Inilah kasih sayang Allah
yang dilimpahkan atas hamba-hamba-Nya, yang menjadikan imamah merupakan
kelanjutan dari kenabian (nubuwwah). Imam diangkat Allah dari Nabi. Ia mesti
maksum baik dari dosa besar maupun kesalahan kecil. Pada setiap masa, harus ada
setiap imam yang maksum yang merupakan tanda kekuasaan Allah atas umat manusia.
Memberikan
komentar atas Al-Baqarah ayat 124, ‘Allamah Thaba’thaba’I dalam komentar
Qurannya, Al-Mizan, telah mengemukakan tujuh butir hal mendasar yang barang
kali memberikan kejelasan mengenai Imamah. Ketujuh butir itu adalah sebagai
berikut:
1.
Imamah adalah hak
prerogatif
2.
Imam Maha Agharus
terhindar dari dosa dan khilaf karena pemeliharaan Ilahi.
3.
Selama manusia ada di
muka bumi, tidak mungkin tidak ada imam sejati.
4.
Imam harus didukung
oleh Allah Yang Maha Agung.
5.
Perbuatan manusia
tidak terlepas dari penglihatan Imam.
6.
Imam harus mempunyai
pengetahuan tentang semua yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan
sehari-harinya dan juga persiapan bagi kehidupan nanti.
7.
Mustahil seseorang
melampaui Imam dalam kualitas-kualitas sublimnya.
11.
Kebangkitan
Kebangkitan adalah
salah satu masalah filsafat dan teologi yang berhubungan dengan “kemungkinan
atau kemustahilan memberikan kembali kehidupan pada apa yang telah mati.”
Masalah itu juga mempunyai kaitan dengan persoalan apakah “jiwa manusia itu
kekal” atau tidak.
Kaum muslim Syiah
Imamiyah yakin pada apa yang dikatakan Al-Quran mengenai kebangkitan. Al-Quran
menyebutkan bahwa kebangkitan yang dimaksud adalah kebangkitan jasmani dan
dalam bentuk ciptaan yang baru.
2.
MAZHAB SYIAH
ISMAILIYYAH
1.
Perkembangan
Ismailiyyah
Madzhab isma’iliyyah adalah bagian
dari cabang islam syi’ah yang para penganutnya sekarang merupakan sekelompok
minoritas didalam lingkungan umat muslim yang lebih luas. Mereka hidup dilebih
dari 25 negara yang berbeda, termasuk afanistan, afrika timur, india,Pakistan,
Suriah, Yaman, Inggris Raya, Amerika Utara dan juga bagian-bagian negeri Cina
serta Uni Soviet. Syiah Ismailiyyah yang warganya sekarang mencapai dua juta,
mereka juga dinamakan Syiah Tujuh Imam, yang berpusat di India, meluas sampai
Asia Tengah, Iran, Syiria dan Afrika Timur.
2.
Pemikiran Ismailyyah
- Bahasa
dan makna: Pendirian Filsafat Islmailiyyah
Seperti terungkap dalam
tulisan-tulisan Ismailiyyah, tujuan ta’wil adalah mengantarkan kita kepada
pemahaman “orisinal” tentang Kitab suci, dengan cara melangkah ke luar dari
makna formal dan literal nas (teks) wahyu, dengan tidak membatasi signifikansi
totalnya atau menolak sepenuhnya keabsahan arti formalnya, tetapi menegaskan
bahwa signifikansi tertinggi dan totalitas makna dari setiap nas hanya dapat
dipahami dengan menerapkan ta’wil.
Dalam karyanya berjudul Al-Risalah
Al-Durriyah dan Rahat Al-Aql, filosof Fathimiyyah, Hamid Al-Din Al-Kirmani (w.
412 H/1021 M) menyejajarkan pembahasan mengenai ucapan dan bahasa dengan
uraiannya mengenai konsep Tuhan dan tauhid. Ia berpendapat bahwa bahasa berasal
dari kata-kata yang tersusun dari huruf-huruf yang memungkinkan kata-kata
menunjuk makna-makna tertentu. Akan tetapi baik kata maupun huruf bersifat
nisbi dan tidak berdiri sendiri. Karena Tuhan tidak nisbi, tetapi mutlak
-bahasa karena sifat dasarnya- tidak
dapat mendefinisikan-Nya secara mjtlak (tak nisbi) dan mempertimbangkan apa-apa
yang menjadikan Tuhan berbeda dari semua yang nisbi. Dengan demikian, bahasa
dengan sendirinya gagal mendefinisikan bahwa Tuhan itu sesuai dengan
kesucian-Nya. Namun, bahasa adalah suatu awal atau suatu permulaan karena ia
merupakan alat paling penting untuk menandakan dan merepresentasikan
kemungkinan mengenai siapa Tuhan itu.
Hemat Penulis, kata-kata yang
mendefinisikan Zat maupun Sifat mengenai Ketuhanan itu dapat mengungkapkan dan
mewakili makna sebenarnya Zat dan Sifat Tuhan, justru akal lah yang tidak mampu
menuai paham dari makna yang terdapat di dalam kata-kata tersebut. Al-Quran
merupakan symbol makna kalam Allah sejati yang sesuai dengan yang berada di
lauhil mahfuz. Berarti al-Quran sendiri sudah cukup dan tepat dalam
menyingkapkan makna-makna ketuhanan itu.
- Konsep
Tauhid
Dalam
merumuskan konsep yang serba mencakup, yaitu tauhid, Sijistani mengasumsikan
tiga kemungkinan hubungan antara Tuhan dan makhluk-Nya (ciptaan-Nya) yaitu:
Tuhan dapat menyamakan diri dengan ciptaan-Nya sepenuhnya, sebagian atau tidak
sama sekali. Guna menegaskan kekhasan total yang diimplikasikan tauhid,
hubungan yang ketiga adalah yang paling tepat, yang menunjukkan perbedaan total
Tuhan dari semua ciptaan. Bertumpu pada ayat al-Qur’an, “ingatlah, ciptaan
(al-khalq) dan perintah (al-amr) hanya milik Allah,” (QS Al-Araf :54) ia
membagi wujud ciptaan menjadi:
- Mereka
yang dapat ditemukan dalam ruang dan waktu, maksudnya mereka yang
diciptakan (makhlukat),
- Mereka
yang diadakan melalui perintah, dengan seketika (daf’atan wahidatan).
- Yang
berada di luar waktu dan ruang dan diciptakan (mubda’at).
Jadi, penegasian yang pertama membedakan
Tuhan dengan semua yang “bersifat”, sedangkan penegasian yang kedua membedakan
Tuhan dengan semua yang “tidak bersifat”. Ia sangat berhati-hati untuk
menyatakan bahwa yang tidak bersifat, baik terdefinisi atau tidak, adalah Tuhan
–dalam skemanya, Tuhan berada di luar ke duanya, ia menganggap Dia mutlak
mustahil diketahui dan tanpa predikat.
Konsep tauhid seperti itu segera
menimbulkan dua masalah bagi seorang muslim: pertama, bagaiman menyembah Tuhan
yang demikian; dan kedua, jika Dia demikian transenden dari makhluk-Nya,
bagimana makhluk-makhluk itu menjadi ada?
Al-Kirmani berusaha menjauhkan
pandangan Ismailiyyah dari pandangan emanasionis murni dan mencoba memcahkan
apa yang dianggapnya sebagai ketaksaan (ambiguitas) dalam rumusan Al-Sijistani
dengan menyatakan bahwa proses emanasi dan sumbernya tiak dapat dibedakan.
Sebagai analogi, ia mengambil tamsil cahaya yang memancar (beremanasi) dari
matahari yang ketika keluar dari sumber pemancaran (yaitu matahari) mengambil
bagian esensi dari sumber tersebut karena pada titik emanasi, cahaya itu tidak
berbeda dengan esensi matahari, yaitu sumbernya. Demikianlah sumber pemancaran
dan benda-benda yang dipancarinya saling berhubungan, meskipun tidak identik,
dalam kebersamaan eksistensi; dan yang satu tidak mungkin dipahami secara
logika tanpa yang lain. Ketimbalbalikan seperti itu tidak dapat dikaitkan
dengan Tuhan karena untuk memahami eksistensi sebagai emancar dari-Nya,
memerlukan kemajemukan dalam sumbernya, yang merupakan esensi dari eksistensi.
Maka, bagi al-Kirmani satu-satunya cara mutlak untuk dapat membedakan
penciptaan dan tauhid adalah melalui definisi yang jauh lebih tajam tentang apa
yang muncul melalui ibda’, yaitu Wujud Pertama atau intelek (Akal) Pertama. Ia
menyatakan : “Wujud Pertama itu tidak ada, kemudian ia mengada melalui ibda’
dan ikhtira’, bukan dari sesuatu, bukan pada sesuatu, bukan dalam sesuatu,
bukan oleh sesuatu, bukan untuk sesuatu, dan bukan pula dengan sesuatu.
Seperti bilangan satu, ia mengandung
semua bilangan lainnya, yang keberadaan bilangan-bilangan lain itu bergantung
padanya. Walaupun demikian, ia independen (tak bergantung pada dan terpisah
dari mereka). Ia juga merupakan sumber dan penyebab dari semua kemajemukan
(pluralitas). Untuk menetapkan ketunggalan (singularitas) Intelek Pertama, ia
mengacu apa yang dikatakan oleh para orang bijak zaman dahulu (hukama); “Dari
Wujud Pertama, yang merupakan Sebab Pertama, tidak ada sesuatu pun menjadi
eksis kecuali suatu eksistensi tunggal … atau Penggerak Pertama yang meskipun
hanya sekali bergerak, tetapi dengan itu banyak sesuatu yang digerakkan.
B. SEKTE
KAISANIYAH
Kaisaniyah adalah sekte syi’ah yang mempercayai keimamahan
Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Husein bin Ali radhiyallâhu’anhuma.
Muhammad bin Hanafiyah sendiri merupakan saudara kandung Husein dari lain ibu.
Nama Kaisaniyah diambil dari pendirinya Mukhtar bin Abi Ubaid, budak dari
Khalifah Ali yang juga dipanggil Kaisan. Pendapat lain menyebutkan seperti al
Baghdadi, al As’ari, Ibnu Quthaibah, Ibnu Khaliqan dan lain-lain bahwa nama
Kaisan dinisbahkan kepada bapaknya Abu Ubaid ibn Mas’ud at Tsaqafi salah seorang
kibar sahabat yang sangat mencintai Ali. Dari kelompok ini maka terpecahlah
mereka kedalam dua kelompok. Satu, kelompok yang mempercayai Muhammad bin
Hanafiyah sebenarnya tidak mati, tetapi ghaib dan bahkan akan kembali lagi ke
dunia nyata pada akhir zaman. Mereka menganggap Muhammad bin Hanafiyah adalah
Imam Mahdi yang dijanjikan itu. Diantara kelompok ini adalah al Karabiyah,
pengikut Abi Karb ad Dharir. Kedua, adalah mereka yang mempercayai Muhammad bin
Hanafiyah telah meninggal, akan tetapi jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim
bin Muhammad bin Hanafiyah. Yang termasuk dalam sekte ini adalah sekte
Hasyimiyah, pengikut Abi Hisyam. Bahkan menurut Ibnu Khaldun, penguasa Dinasti
Abbasiyah pertama yaitu Abu Abbas As Saffah dan Abu Ja’far Al Mansur merupakan
pecahan dari pengikut Hasyimiyah itu. Karena setelah meninggalnya Abi Hisyam,
jabatan imamah berpindah kepada Muhammad bin Ali Abdullah, kemudian secara
berturut-turut kepada Ibrahim al Imam, as Saffah dan al Mansur.
Sekte Kaisaniyah telah lama musnah. Namun
kehebatan perjuangan Muhammad bin Hanafiyah ini banyak dijumpai dalam
cerita-cerita rakyat. Di Indonesia dan rumpun Melayu, terlebih lagi orang-orang
aceh, mereka mengenalnya dengan Hikayat Muhammad bin Hanafiyah. Di Makkah
sendiri, hikayat ini telah dikenal sejak abad ke 15 M.
C.
SEKTE ZAIDIYAH
Syiah Zaidiyyah yang
juga disebut Syiah Lima Imam, tersebar di Yaman yang jumlah mencapai 40% dari
warga Yaman.
Sekte Zaidiyah
adalah para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin (Zaid bin Ali bin Husein Zainal
Abidin / Zaid bin Ali As Sajjad). Zaid merupakan saudara kandung Abu Ja’far
Muhammad Al Baqir putera dari Ali bin Husein Zainal Abidin. Beliau merupakan
tokoh alhul biat yang terkenal memiliki keilmuan, kefaqihan dan kewara’an yang
tinggi. Tentang Zaid bin Ali zainal Abidin ini, para ulama semisal Ibnu Hibban
menyebutkan profilnya dalam kitab At Tsiqah (Jilid I, hlm 146), dan beliau
mengatakan, al Jama’ah meriwayatkan darinya (Zaid), serta dari para sahabat
Rasulullah. Demikian pula Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i dalam “Musnad‘Ali.”
Dimasa Zaid inilah, sekte Syi’ah yang dikenal dengan Syi’ah Rafidhah mulai
dikenal. Al Hafidz Ibnu Katsir di dalam Al Bidayah menceritakan sebuah riwayat
tentang penolakan sebagian pengikut Ali di Kuffah untuk menerima kepemimpinan
Abu Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma. Al Hafidz menyebutkan kedatangan para
penganut syi’ah dari penduduk kota Kuffah kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin
seraya bertanya; “Apa pendapatmu yarhamukallâh tantang Abu Bakar dan Umar ?.
Zaid berkata; “Semoga Allah mengampuni keduanya, aku tidak pernah mendengar
seorangpun dari Ahlul Baitku yang berlepas diri kepada keduanya. Adapun aku,
tidaklah aku katakan mengenai keduanya melainkan kebaikan (keduanya baik).”
Setelah mereka tidak mendapatkan jawaban yang menyenangkan hati mereka, mereka
kemudian berpaling dan menolak keyakinan Zaid. Mereka ini menurut Ibnu Katsir
dikenal dengan sebutan kelompok rafidhah. Imam Amhad rahimahullah juga pernah
ditanya oleh anaknya tentang siapa Rafidhah itu ?, maka beliau menjawab;
“Mereka adalah orang-orang yang menghina dan menghujat Abu Bakr dan Umar
radhiyallahu’anhuma. Juga dalam waktu lain beliau berkata; “Mereka adalah yang
memusuhi Abu Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma.”
Kota
Kuffah saat itu di kenal sebagai basis pendukung Ali (syi’ah) yang telah lama
menantikan tokoh dari ahlul Bait untuk merubah nasib mereka dari tekanan serta
kezaliman pemerintahan Umawiyah. Maka kedatangan Zaid ke kota itu menjadi
sebuah momentum yang baik untuk melakukan gerakan perlawanan kepada khalifah.
Maka penduduk Kuffah mengatakan kepada Zaid bahwa terdapat sekitar 100 ribu
orang yang akan berada disampingnya. Oleh kerenanya di kumpulkanlah manusia
sebanyak 15 ribu orang dan membai’atnya saat itu juga. Merekapun menulis
nama-nama mereka dalam daftar yang panjang. Gerakan perlawanan ini ternyata
berhasil tercium oleh Khalifah sebelum waktu yang ditentukan untuk melakukan
perlawanan. Maka setelah mendengar informasi ini, Zaid berinisiatif untuk
mendahulukan jadwal perlawanan dari yang ditetapkan lebih awal (Safar, 122 H).
Setelah
wafatnya Zaid bin Ali Zainal Abidin para pengikutnya mengklaim beliau sebagai
imam Syi’ah yang kelima. Setelah ia syahid, putranya yang bernama Yahya
menggantikan kedudukannya. Yahya sempat mengadakan pemberontakan terhadap Walid
bin Yazid. Setelah ia meninggal dunia, Muhammad bin Abdullah (dijuluki; An Nafs
Az Azzakiyah) diangkat sebagai Imam. Juga setelah ia wafat, Ibrahim bin
Abdullah menggantikan kedudukannya sebagai Imam. Mereka sempat mengadakan
pemberontakan terhadap Manshur Dawaniqi, salah seorang khalifah dinasti Bani
Abbasiyah dan terbunuh dalam sebuah peperangan. Setelah mereka terbunuh,
Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang hampir menyebabkan kelompok ini punah.
Pada tahun
250-320 H., Nashir Uthrush, salah seorang anak cucu saudara Zaid bin Ali,
mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan. Karena dikejar-kejar oleh
pihak penguasa yang berusaha untuk membunuhnya, ia melarikan diri ke Mazandaran
yang hingga saat itu penduduknya belum memeluk agama Islam. Setelah 13 tahun
bertabligh, ia akhirnya dapat mengislamkan mayoritas penduduk Mazandaran dan
menjadikan mereka penganut mazhab Syi’ah Zaidiyah. Dengan bantuan mereka, ia
dapat menaklukkan Thabaristan dan daerah itu menjadi pusat bagi kegiatan Syi’ah
Zaidiyah. Menurut keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari
keturunan Fathimah Az-Zahra` a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk
menentang segala manifetasi kelaliman, bisa menjadi imam. Ibnu Khaldun
menyebutkan, bahwa penentuan keimamahan dalam sekte Zaidiyah dapat pula melalui
musyawarah ahlul halli wa al aqdi, dan bukan berdasarkan nash. Mereka juga
tidak menolak prinsip Imamah al mafdhul ma’a wujud al afdhal (menerima
keimamahan yang lebih rendah derajatnya, sekalipun yang lebih baik dizamannya
masih ada).
Dalam
perkembangannya Syi’ah Zaidiyah berpandangan lebih mengunggulkan kekhilafahan
Ali dari khalifah Abu Bakar dan Umar meskipun kehilafahan mereka tetap
diterima. Zaidiyah telah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang
ushuluddin ia menganut paham Mu’tazilah dan dalam bidang furu’ ia menganut
paham Hanafiyah. Hal ini jelas menyelisihi pandangan Zaid bin Ali dimana ia
tidak mendahulukan Ali dari Abu Bakar dan Umar, serta tidak terpengaruh dengan
Mazhab Mu’tazilah. Bahkan Ibnu Katsir menyebutkan perihal Zaid bin Ali yang
sangat berpegang teguh dengan al Qur’an dan sunnahNabi.
Sekte-sekte
yang lahir dari rahim Zaidiyah ini dikemudin hari adalah; Jarudiyah,
Sulaimaniyah, dan Batriyah atau as Salihiyah. Sekte Jarudiyah adalah pengikut
Abi Jarud Zuyad bin al Mundziry al ‘Abdi. Sekte ini menganggap Nabi Muhammad
telah menentukan Ali sebagai imam setalahnya, namun tidak dalam bentuk yang
tegas melainkan hanya dengan Isyarat (secara tidak langsung) atau dengan al
washf (menyebut-nyebut keunggulan Ali dibandingkan lainnya).
Sekte
Sulaimaniyah adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Sekte ini beranggapan bahwa
masalah imamah dapat ditentukan dengan syura. Namun dalam hal ini ummat telah
melakukan kesalahan dalam berbai’at kepada Abu Bakar dan Umar, karena
sesungguhnya ada yang lebih baik dari mereka yaitu Ali. Akan tetapi bai’at
mereka tetap sah karena mereka menerima al mafdhul ma’a wujud al afdhal. Akan
tetapi kelompok ini telah mengkufurkan Amirul Mu’minin Utsman bin Affan karena
dianggap telah menyimpang dari Islam. Mereka juga mengkufurkan Ummul Mu’minin
A’isyah, Zaid, dan Thalhah karena talah berperang terhadap Ali. Sekte ini juga
dikenal dengan al Jaririyah.
Pecahan lain
dari sekte Zaidiyah adalah Batriyah atau as Salihiyah. Nama sekte tersebut
dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Al Hasan bin Shalih Hayy atau Batriyah, dan
Katsir an Nu’man al Akhtar. Mereka berdua sependapat dalam keyakinan. Secara
umum, pandapat-pendapat mereka juga sama dengan sekte Sulaimaniyah, hanya saja
mereka bertawaquf (tidak berkomentar) terhadap kehilafahan Utsman bin Affan.
Menurut Al Baghdadi, sekte ini adalah sekte yang paling dekat dengan Sunni.
Oleh karenanya Imam Muslim meriwayatkan beberapa hadits darinya dalam kitab
Sahih Muslim-nya. Sementara itu kitab Tahdzib at Tahdzib menyebut Al Hasan
sebagai orang yang memiliki kezuhudan, ketaqwaan dan ahli ibadah, faqih dan
ahli kalam serta pembesar Syi’ah Zaidiyah yang memiliki beberapa kitab
diantaranya; Kitab at Tauhîd, al Jâmi’ fî al Fiqh (Tahdzib at Tahdzib, hlm.
285, Ibnu Nadhim, Fahrasat, hlm. 253).
D.
SYIAH GHULAT
Syi’ah Ghulat adalah
sebutan untuk kelompok syi’ah yang ekstrim. Mereka adalah pengikut Ali yang
terlampau jauh melakukan pemujaan terhadap sosok dan kepemimpinan beliau. Tidak
hanya itu, merek juga meyakini para imam-imam pengganti setelahnya bukan
sebagai manusia biasa, melebihi kedudukan nabi, bahkan hingga ketingkat
sesembahan (Ilah). Menurut Al Baghdadi, Syi’ah Ghulat telah ada sejak zaman
kehilafahan sahabat Ali. Saat itu mereka memanggil beliau dengan sebutan;
“Anta, Anta” yang merujuk kepada makna Tuhan. Sebahagian dari mereka
mendapatkan eksekusi mati dengan cara dibakar oleh Khalifah Ali, sementara itu
pemimpin mereka yang bernama Abdullah bin Saba’ dibuang ke Mada’in. Pada perkembangannya,
diantara mereka bahkan ada yang menyalahkan sikap Ali, mengutuk dan
mendurhakakannya karena dianggap tidak menuntut kehilafahannya sepeninggalan
Rasulullah.
Kelompok Ghulat dapat dikelompokkan kedalam dua
golongan yaitu Saba’iyah dan al Ghurabiyah. Golongan Saba’iyah berasal dari
pencetus ide-ide Syi’ah awal yaitu Abdullah bin Saba’. Nama Abdullah bin Saba’
diakui oleh pembesar Syi’ah seperti Al Qummi di dalam kitabnya Al Maqâlat wa al
Firâq (hlm. 10-21), sebagai seseorang yang pertamakali menobatkan keimamahan
Ali dan mencela Abu Bakar, Umar dan Utsman serta para sahabat lainnya.
Sebagaimana hal itu juga diakui oleh Al Kasyi dalam kitabnya yang terkenal
Rijalul Kasyi (hlm. 170-174). Menurut Al Bagdadi sekte As Saba’iyah menganggap
Ali sebagai Tuhan. Padahal Abdullah bin Saba’ sendiri merupakan tokoh penyusup
dari kalangan Yahudi dari penduduk Hirrah yang mengaku-ngaku sebagai muslim.
Kelompok saba’iyah juga beranggapan bahwa Ali tidak dibunuh oleh Abdurrahman
Ibn Muljam melainkan seseorang yang diserupakan wajahnya seperti Ali. Menurut
mereka Ali telah naik kelangit dan disanalah tempatnya. Petir adalah suaranya
dan Kilat adalah senyumnya.
Kelompok lainnya adalah al Ghurabiyah. Prof. Dr.
Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan, meski tak seekstrim saba’iyah dalam
memposisikan Ali bin Abi Thalib hingga ke tingat Tuhan, akan tetapi kelompok
ini telah menganggap Malaikat Jibril salah alamat dalam memberikan risalah
Allah kepada Muhammad. Seharusnya yang menerima kerasulan itu adalah Ali bin
Abi Thalib. Oleh sebab itulah Allah terpaksa mengakui Muhammad sebagai
utusan-Nya.
BAB
III
KESIMPULAN
PERKEMBANGAN
DAN PEMAHAMAN SYIAH
Syiah (“kelompok”,
“partai”, dari kata Syiat Ali, “partai Ali”) yaitu orang-orang yang mendukung
kekhalifahan Ali ibn Abu Thalib. Mereka disebut demikian karena mereka
menegaskan bahwasanya Ali memiliki hak atas kekhalifahan berdasarkan ketetapan
Tuhan, dan ia telah menerima mandat yang istimewa tersebut dari nabi Muhammad,
dan disebabkan oleh anggapan mereka terhadap keistemewaan Ali, yakni otoritas
spiritual yang melekat pada diri Ali, dan kemudian akan beralih bkepada anak
dan keturunannya.
Syiah merupakan cabang
islam yang jumlahnya mencapai 10% dari keseluruhan warga muslim, ajarannya
sangat berbeda dengan ajaran Sunni, Syiah sendiri terbagi menjadi tiga kelompok
besar.
Sekte Imamiyah pecah menjadi beberapa
golongan. Golongan terbesar adalah golongan Isna Asy’ariyah ata Syiah Duabelas.
Golongan kedua terbesar adalah golongan Ismailiyah.
Menurut
Syiah Imamiyyah, dasar-dasar agama itu ada lima: Keesaan Tuhan, Keadilan,
Kenabian, Imamah dan Hari Akhir
Ada tujuh tugas agama yang harus
dijalankan sebagai amalan-amalan wajib untuk menyembah Allah. Masing-masing
adalah:
1.
Shalat lima kali
sehari
2.
Berpuasa pada bulan
Ramadhan
3.
Menunaikan ibadah haji
satu kali seumur hidup jika seseorang mampu baik dari segi fisik maupun
keuangan untuk melakukannya.
4.
Memberi zakat yang
jumlahnya sepersepuluh dari komoditas-komoditas tertentu, yang harus dibayar
pada akhir tahun demi kesejahteraan masyarakat umum dan kaum miskin.
5.
Khums atau seperlima
dari pendapatan tahunan seseorang harus dibayarkan sebagai hak prerogative
kepada Imam pada masanya.
6.
Jihad, yang secara
umum dan kurang tepat diterjemahkan sebagai perang suci.
7.
Al-amr bi al-ma’ruf wa
al-nahy an al-munkar, menyarankan berbuat baik dan mencegah berbuat jahat.
Syiah mengambil posisi tengah antara Mu’tazilah dan
Ay’ariyah megenai Janji dan Ancaman yang diberikan Allah kepada pelaku dosa
besar. Yaitu, Tuhan pasti melaksanakan janji-janji-Nya. Akan tetapi, Dia
melakukan hal demikian itu bukan karena keterpaksaan. Ia niscaya memenuhi
janji-janji-Nya karena ini sesuai dengan keadilan dan kemestian, dan melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan prinsip ini berarti tidak konsisten
Kaum
Muslim Syiah percaya bahwa sifat-sifat Allah identik dengan esensi (Zat)-Nya.
Mustahil Allah mempunyai sifat yang selain Wujud-Nya, dari segi mana pun.
Karena
Imamiyah percaya pada kemerdekaan akal dalam memahami apa yang baik dan yang
buruk, maka konsekuensinya seseorang dapat secara mutlak tahu pasti bahwa apa
yang dititahkan Allah itu baik dan apa yang dilarang Allah itu buruk.
Menurut Syiah, Allah Yang Maha Suci menghimbau
hamba-Nya untuk melakukan perbuatan baik dan menghindarkan diri dari perbuatan
tidak patut. Artinya bahwa manusia adalah pelaku dari setiap perbuatan yang
mereka kerjakan dalam pegertian sebenarnya, bukan secara metaforis.
Syiah Imamiyyah sepakat bahwa Kalam Tuhan itu makhluk
seperti halnya makhluk-makhluk lainnya. Syiah Imamiyah percaya Imamah adalah
posisi ilahiah bagi kepemimpinan spiritual dan temporal kaum muslim.
Imam
diangkat Allah dari Nabi. Ia mesti maksum baik dari dosa besar maupun kesalahan
kecil. Pada setiap masa, harus ada setiap imam yang maksum yang merupakan tanda
kekuasaan Allah atas umat manusia.
paham
resmi pemerintahan di Persia semenjak masa pemerintahan dinasti Syafawiyah
berkuasa pada tahun 907/1501.
Kedua-Belas-Imam yang
diakui oleh Mazhab Syiah Dua-Belas-Imam adalah sebagai berikut:
1.
Ali ibn Abi Thalib (w.
40 H/661 M)
2.
Al-Hasan ibn ‘Ali (w.
49 H/669 M)
3.
Al-Husain ibn ‘Ali (w.
61 H/680 M)
4.
Ali ibn Al-Husain,
Zain Al-Abidin (w. 95 H/714 M)
5.
Muhammad Al-Baqir (w.
115 H/733 M)
6.
Ja’far Al-Shadiq (w.
148 H/765 M)
7.
Musa Al-Kazhim (w. 183
H/799 M)
8.
Ali Al-Ridha (w. 203
H/818 M)
9.
Muhammad Jawad Al-Taqi
(w. 220 H/835 M)
10. Ali
Al-Naqi (w. 254H/868 M)
11. Al-Hasan
Al-Askari (w. 260 H/874 M)
12. Muhammad
Al-Mahdi, Al-Qa’im Al-Hujjah (memasuki kegaiban besar pada 329 H/940 M).
Syiah Ismailiyyah yang warganya sekarang mencapai dua
juta, mereka juga dinamakan Syiah Tujuh Imam, yang berpusat di India, meluas
sampai Asia Tengah, Iran, Syiria dan Afrika Timur.
bagi al-Kirmani satu-satunya cara mutlak untuk dapat
membedakan penciptaan dan tauhid adalah melalui definisi yang jauh lebih tajam
tentang apa yang muncul melalui ibda’, yaitu Wujud Pertama atau intelek (Akal)
Pertama. Ia menyatakan : “Wujud Pertama itu tidak ada, kemudian ia mengada
melalui ibda’ dan ikhtira’, bukan dari sesuatu, bukan pada sesuatu, bukan dalam
sesuatu, bukan oleh sesuatu, bukan untuk sesuatu, dan bukan pula dengan
sesuatu.
Kaisaniyah
adalah sekte syi’ah yang mempercayai keimamahan Muhammad bin Hanafiyah setelah
wafatnya Husein bin Ali radhiyallâhu’anhuma. Muhammad bin Hanafiyah sendiri
merupakan saudara kandung Husein dari lain ibu. Nama Kaisaniyah diambil dari
pendirinya Mukhtar bin Abi Ubaid, budak dari Khalifah Ali yang juga dipanggil
Kaisan. Sekte Kaisaniyah telah
lama musnah
Syiah Zaidiyyah yang
juga disebut Syiah Lima Imam, tersebar di Yaman yang jumlah mencapai 40% dari
warga Yaman.
Sekte Zaidiyah adalah para
pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin (Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin /
Zaid bin Ali As Sajjad). Zaid merupakan saudara kandung Abu Ja’far Muhammad Al
Baqir putera dari Ali bin Husein Zainal Abidin.
Dalam perkembangannya
Syi’ah Zaidiyah berpandangan lebih mengunggulkan kekhilafahan Ali dari khalifah
Abu Bakar dan Umar meskipun kehilafahan mereka tetap diterima. Zaidiyah telah
menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut
paham Mu’tazilah dan dalam bidang furu’ ia menganut paham Hanafiyah.
Sekte-sekte yang lahir dari rahim Zaidiyah ini dikemudin
hari adalah; Jarudiyah, Sulaimaniyah, dan Batriyah atau as Salihiyah. Sekte Jarudiyah adalah pengikut Abi Jarud Zuyad bin al
Mundziry al ‘Abdi. Sekte ini menganggap Nabi Muhammad telah menentukan Ali
sebagai imam setalahnya, namun tidak dalam bentuk yang tegas melainkan hanya
dengan Isyarat (secara tidak langsung) atau dengan al washf (menyebut-nyebut
keunggulan Ali dibandingkan lainnya).
Sekte Sulaimaniyah adalah
pengikut Sulaiman bin Jarir. Sekte ini beranggapan bahwa masalah imamah dapat
ditentukan dengan syura. Namun dalam hal ini ummat telah melakukan kesalahan
dalam berbai’at kepada Abu Bakar dan Umar, karena sesungguhnya ada yang lebih
baik dari mereka yaitu Ali. Akan tetapi bai’at mereka tetap sah karena mereka
menerima al mafdhul ma’a wujud al afdhal. Akan tetapi kelompok ini telah
mengkufurkan Amirul Mu’minin
Pecahan lain dari sekte
Zaidiyah adalah Batriyah atau as Salihiyah. Nama sekte tersebut dinisbatkan
kepada pendirinya yaitu Al Hasan bin Shalih Hayy atau Batriyah, dan Katsir an
Nu’man al Akhtar. Mereka berdua sependapat dalam keyakinan. Secara umum,
pandapat-pendapat mereka juga sama dengan sekte Sulaimaniyah, hanya saja mereka
bertawaquf (tidak berkomentar) terhadap kehilafahan Utsman bin Affan.
Syi’ah
Ghulat adalah sebutan untuk kelompok syi’ah yang ekstrim. Mereka adalah
pengikut Ali yang terlampau jauh melakukan pemujaan terhadap sosok dan
kepemimpinan beliau. Tidak hanya itu, merek juga meyakini para imam-imam
pengganti setelahnya bukan sebagai manusia biasa, melebihi kedudukan nabi,
bahkan hingga ketingkat sesembahan (Ilah).
Dari sudut pandang
sunni, kalangan Syiah tetap dipandang sebagai muslim sebab ajarannya sebagian
besar merupakan bagian dari ajaran Islam ortodoks.
,
DAFTAR
PUSTAKA
Ensiklopedi Tematis
Spiritualitas Islam
Glasse,Cyril, Ensiklopedi Islam, Penterjemah
Ghifron A. Mas’adi, Ed 1, Cet. 3, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002.
Rahman, Fazlur, Gelombang
Perubahan Dalam Islam, penerjemah Aam Fahmia, PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta, 2001